Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Rabu, 19 Desember 2012

PPh 21

1. Pajak PPh 21

PPh Pasal 21 merupakan cara pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Pemotongan PPh Pasal 21 antara lain dilakukan oleh pemberi kerja, bendahara pemerintah, dana pensiun yang membayarkan uang pensiun, dan penyelenggara kegiatan.

Pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 dibedakan menurut penerima penghasilannya antara lain pegawai, pensiunan, peserta kegiatan dan bukan pegawai. Berikut beberapa pengertian terkait pemotongan PPh Pasal 21:

1) Pegawai dibedakan menjadi pegawai tetap dan pegawai tidak tetap.

a) Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima penghasilan secara teratur termasuk anggota dewan komisaris/anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai kontrak sepanjang pegawai tersebut bekerja penuh (full time) dalam pekerjaannya.

b) Pegawai tidak tetap disebut juga tenaga kerja lepas, adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja atau jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.


2) Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima imbalan untuk pekerjaan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.

3) Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop) atau kegiatan lainnya dan menerima imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.

4) Bukan pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas yang memperoleh penghasilan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan, misalnya konsultan, penyanyi, notaris, dan pengajar.

5) Imbalan bersifat berkesinambungan adalah imbalan kepada bukan pegawai yang dibayar lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.

Cara Penghitungan.

1) Pegawai Tetap.

Dalam menghitung PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap perlu diperhatikan rumus penghitungannya, yaitu sebagai berikut:

Penghasilan Bruto setahun Rp xxxxxx

Pengurang Penghasilan Bruto ( Rp xxxxxx )

Penghasilan Neto setahun Rp xxxxxx

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ( Rp xxxxxx )

Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp xxxxxx

PPh Pasal 21 yang dipotong: PKP x tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh = PPh Pasal 21 setahun.

PPh Pasal 21 setahun : 12 bulan = PPh Pasal 21 sebulan

Pengurang penghasilan bruto bagi Pegawai Tetap terdiri dari:

a) biaya jabatan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp500.000,00 sebulan atau Rp6.000.000,00 setahun;

b) iuran dana pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua kepada dana pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan.

Besarnya PTKP per tahun adalah:

a) Rp15.840.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;

b) Rp1.320.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;

c) Rp1.320.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh:

Lapisan PKP
   

Tarif Pajak

s.d. Rp50.000.000,00
   

5 %

Diatas Rp50.000.000,00 s.d. Rp250.000.000,00
   

15 %

Diatas Rp250.000.000,00 s.d. Rp500.000.000,00
   

25 %

Diatas Rp500.000.000,00
   

30%

   

2) Pegawai Tidak Tetap

a) PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap yang upahnya dibayarkan secara bulanan.

Penghasilan bruto setahun - PTKP = Penghasilan Kena Pajak

Penghasilan Kena Pajak x Tarif Pajak = PPh Pasal 21 setahun

PPh Pasal 21 setahun : 12 = PPh Pasal 21 sebulan

b) PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap yang upahnya dibayarkan secara harian/mingguan/borongan/satuan. Sebelum menghitung PPh Pasal 21 bagi pegawai tidak tetap yang upahnya dibayarkan secara harian/ mingguan/ borongan/ satuan, maka perlu diperhatikan jumlah upah harian, atau rata-rata upah yang diterima dalam sehari, yaitu:

1) upah mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam seminggu;

2) upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari;

3) upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan;

4) upah harian kurang dari Rp150.000,00 atau penghasilan dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp1.320.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus dipotong;

5) upah harian lebih dari Rp150.000,00 tetapi jumlah kumulatif yang diterima dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp1.320.000,00;

PPh Pasal 21 = (upah harian - Rp150.000,00) x 5%

6)Penghasilan bruto sebulan melebihi Rp1.320.000,00 tapi tidak lebih dari Rp6.000.000,00;

PPh Pasal 21 = (upah harian ‒ PTKP sehari) x 5 %

7)Penghasilan bruto sebulan lebih dari Rp6.000.000,00.

PPh Pasal 21 = [ (Penghasilan Bruto setahun ‒ PTKP) x Tarif Pajak ] : 12

3) PPh Pasal 21 Bagi Penerima Uang Pensiun yang Dibayarkan Berkala

Cara penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pensiun, dibagi berdasarkan cara pembayarannya, yaitu penerimaan uang pensiun secara sekaligus dan penerimaan secara berkala. Cara menghitung PPh Pasal 21 bagi uang pensiun yang dibayarkan secara berkala adalah:

a. terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun, kemudian dikalikan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan Desember;

b. penghasilan neto pensiun sebagaimana tersebut pada huruf a ditambah dengan penghasilan neto dalam tahun yang bersangkutan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;

c. untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, jumlah penghasilan pada huruf b tersebut dikurangi dengan PTKP, dan selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 atas Penghasilan Kena Pajak tersebut;

d. PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan dihitung dengan cara mengurangi PPh Pasal 21 dalam huruf c dengan PPh Pasal 21 yang terutang dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;

e. PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah sebesar PPh Pasal 21 seperti tersebut dalam huruf d dibagi dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

4) PPh Pasal 21 Bagi Peserta Kegiatan

PPh Pasal 21 bagi peserta kegiatan = Penghasilan bruto x tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.

5) PPh Pasal 21 Bagi Bukan Pegawai

Penghitungan PPh Pasal 21 bagi penerima kategori bukan pegawai dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu:

a. menerima atau memperoleh penghasilan yang tidak bersifat berkesinambungan;

b. menerima atau memperoleh penghasilan semata-mata dari satu pemberi penghasilan yang bersifat berkesinambungan;

c. menerima atau memperoleh penghasilan yang bersifat berkesinambungan dan mempunyai penghasilan lain.

Yang termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi kategori Bukan Pegawai antara lain pengacara, arsitek, dokter, notaris, akuntan, aktuaris, konsultan, olahragawan, pengajar, peneliti, penceramah, penyanyi, bintang film, petugas dinas luar asuransi, dan lain-lain.

a. Menerima atau memperoleh penghasilan yang tidak bersifat berkesinambungan

1) Yang dimaksud imbalan yang bersifat tidak berkesinambungan merupakan imbalan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi Bukan Pegawai hanya satu kali dalam 1 (satu) tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan dan jasa.

2) Dalam penghitungan PPh Pasal 21 atas imbalan yang bersifat tidak berkesinambungan, Dasar Pengenaan Pajaknya adalah Penghasilan Bruto dengan tidak memperhitungkan Penghasilan Tidak Kena Pajak.

3) PPh Pasal 21 atas imbalan yang bersifat tidak berkesinambungan:

PPh Pasal 21 sebulan = [ 50 % x Penghasilan Bruto ] x Tarif Pajak

b. Menerima atau memperoleh penghasilan semata-mata dari satu pemberi penghasilan yang bersifat berkesinambungan

1) PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh (Tarif Pajak) atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak.

2) Penghitungan PPh Pasal 21 sebulan sebagaimana ditunjukkan di bawah ini :

DPP = (50 % x Penghasilan Bruto Sebulan ‒ PTKP per bulan) kumulatif

PPh Pasal 21 sebulan = DPP x Tarif Pajak

c. Menerima atau memperoleh penghasilan yang bersifat berkesinambungan dan mempunyai penghasilan lain

1) Bagi Wajib Pajak Orang pribadi kategori Bukan Pegawai yang menerima imbalan bersifat berkesinambungan dan berasal bukan hanya dari 1 (satu) pemberi penghasilan, dasar pengenaan pajaknya tidak memperhitungkan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebulan. Hak PTKP dapat diperhitungkan oleh Wajib Pajak pada saat pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

2) Salah satu contoh Wajib Pajak Orang Pribadi kategori Bukan Pegawai yang menerima imbalan bersifat berkesinambungan dan memperoleh penghasilan lain adalah dokter yang bekerja di 2 (dua) atau lebih rumah sakit dalam tahun kalender yang sama.

3) Penghitungan PPh Pasal 21 sebulan sebagaimana ditunjukkan dalam tabel di bawah ini :

DPP = (50 % x Penghasilan Bruto Sebulan) kumulatif

PPh Pasal 21 sebulan = DPP x Tarif Pajak

Catatan: Besarnya tarif sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (1) huruf (a) UU PPh yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

6) PPh Pasal 21 Bagi Penerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final. Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua dianggap dibayarkan sekaligus jika sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.

a. Uang Pesangon

Berikut Tarif PPh Pasal 21 atas uang pesangon yang diterima secara sekaligus:

Lapisan Penghasilan
   

Tarif Pajak

s.d. Rp 50.000.000,00
   

0 %

di atas Rp50.000.000,00s.d. Rp100.000.000,00
   

5 %

di atas Rp100.000.000,00 s.d. Rp 500.000.000,00
   

15 %

di atas Rp 500.000.000,00
   

25%

b.Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus

Berikut Tarif PPh Pasal 21 atas Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus:

Lapisan Penghasilan
   

Tarif Pajak

s.d. Rp 50.000.000,00
   

0 %

di atas Rp 50.000.000,00
   

5 %

Dalam hal terdapat bagian penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan.

PPh Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.

Dalam pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21, kantor perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21, sehingga Wajib Pajak Orang Pribadi yang bekerja pada kantor perwakilan negara asing atau organisasi internasional tersebut wajib menghitung, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima dari pemberi kerja tersebut melalui mekanisme Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) PPh Orang Pribadi.

Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 adalah:

❶ Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009;

❷ Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008;

❸ Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008;

❹ Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010;

❺ Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2008;

❻ Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009.


2. Meneropong Siklus Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Melaksanakan kewajiban pajak terasa mudah jika Wajib Pajak (WP) memahami siklus hak dan kewajiban WP serta membiasakan diri untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dengan mengikuti alur siklus tersebut. Setelah WP melaksanakan kewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), masih terdapat 6 kewajiban pajak lainnya, yaitu: (1) Kewajiban pembayaran pajak; (2) Kewajiban pemungutan/pemotongan pajak; (3) Kewajiban pelaporan pajak; (4) Kewajiban pembukuan/pencatatan; (5) Kewajiban dalam hal diperiksa; dan (6) Kewajiban memberi data.

Dalam hal kewajiban pembayaran, ada 4 hal yang mesti diperhatikan: (1) WP wajib membayar sendiri pajak terutang, meliputi: pembayaran angsuran Pajak Penghasilan (PPh) setiap bulan (PPh Pasal 25) dan pembayaran kekurangan PPh selama setahun (PPh Pasal 29); (2) WP wajib membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain, meliputi PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15 serta PPh Pasal 26 untuk Wajib Pajak Luar Negeri; (3) WP wajib membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun kepada pihak yang ditunjuk pemerintah; dan (4) WP wajib membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM) atau melalui perangkat desa.

Dalam kewajiban pembayaran pajak, juga meliputi kewajiban untuk membayar atau melunasi utang pajak yang timbul karena pemeriksaan pajak. Utang pajak akibat hasil pemeriksaan bisa tercantum dalam: (1) Surat Tagihan Pajak (STP); (2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB); (3) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT); (4) Surat Keputusan Pembetulan, (5) Surat Keputusan Keberatan, dan (6) Surat Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.

Selain pembayaran yang dilakukan sendiri, terdapat mekanisme pembayaran lainnya yaitu dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut, antara lain yang ditunjuk tersebut adalah bendahara pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Apabila WP tergolong sebagai subjek pajak badan dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungut pajak.

Pajak yang telah dibayar tersebut wajib dilaporkan. Pelaporan pajak dapat disampaikan di tempat-tempat berikut: (1) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat WP terdaftar atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di lingkungannya; (2) Drop Box; (3) e-Filing; dan/atau melalui (4) Mobil Pajak atau Pojok Pajak. WP menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) sebagai sarana pelaporan dan pertanggungjawaban penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang. Selain itu, SPT juga digunakan untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak baik yang dilakukan WP sendiri maupun melalui mekanisme pemotongan dan pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemotong/pemungut, melaporkan harta dan kewajiban, dan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan dan pemungutan pajak yang telah dilakukan. SPT terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu SPT Tahunan dan SPT Masa.

Kewajiban berikutnya adalah pembukuan/pencatatan. Pembukuan diwajibkan bagi WP Badan dan WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, dengan pengecualian apabila omsetnya dalam satu tahun di bawah Rp 4,8 milyar. Sedangkan bagi WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan omset di bawah Rp 4,8 milyar setahun atau tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, diwajibkan untuk melakukan pencatatan. Pembukuan dilaksanakan untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. Sedangkan pencatatan dilaksanakan untuk mengumpulkan data tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

Jika WP diperiksa, maka WP wajib: (1) Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor; (2) Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas WP, atau objek yang terutang pajak. Khusus untuk Pemeriksaan Lapangan, WP wajib memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelolah secara elektronik; (3) Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan; (4) Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; (5) Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor; dan (6) Memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan.

Kewajiban terakhir dari WP adalah kewajiban untuk memberi data dan informasi. Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang ketentuannya diatur pada Pasal 35A UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Dengan UU Nomor 16 Tahun 2009. Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar DJP.

Tujuh kewajiban WP tersebut diimbangi dengan dua belas hak pokok WP. Yang pertama adalah hak atas kelebihan pembayaran pajak. Di mana jika pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka WP mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Khusus untuk WP yang masuk kriteria WP Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diterima. Pengembalian ini dilakukan tanpa pemeriksaan. WP dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui dua cara: (1) Melalui Surat Pemberitahuan (SPT); atau (2) dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala KPP. Apabila DJP terlambat mengembalikan kelebihan pembayaran yang semestinya dilakukan, maka WP berhak menerima bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan.

Hak yang kedua adalah hak dalam hal dilakukan pemeriksaan, maka WP berhak: (1) Meminta Surat Perintah Pemeriksaan; (2) Melihat tanda pengenal pemeriksa; (3) Mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan; (4) Meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT; (5) Hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan; dan (6) Meminta review kepada Kantor Wilayah DJP terkait hasil pemeriksaan.

Hak yang ketiga adalah hak untuk mengajukan keberatan, banding atau gugatan, serta peninjauan kembali. Di mana berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP, maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak, yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Jika WP tidak sependapat maka dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan tersebut. Selanjutya jika belum puas dengan keputusan keberatan tersebut maka WP dapat mengajukan banding atau gugatan. Langkah terakhir yang dapat dilakukan oleh WP dalam sengketa pajak adalah peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA).

Hak yang keempat adalah hak kerahasiaan WP. WP dijamin kerahasiaannya atas: SPT, Laporan Keuangan, data-data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia; dan dokumen atau rahasia WP lainnya sesuai ketentuan yang berlaku. Selanjutnya delapan hak-hak lainnya bagi WP meliputi: (1) Hak untuk pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak; (2) hak untuk penundaan pelaporan SPT Tahunan; (3) Hak untuk pengurangan PPh Pasal 25; (4) Hak untuk pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); (5) Hak untuk pembebasan pajak; (6) Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak; (7) Hak untuk mendapatkan pajak ditanggung pemerintah; dan (8) Hak untuk mendapatkan insentif perpajakan.

Dengan memahami siklus hak dan kewajiban WP, diharapkan setiap WP di Indonesia tidak ragu lagi untuk melaksanakan kewajiban perpajakan sekaligus menikmati hak-haknya.


3. Mari Menghitung Pajak Penghasilan Kita
Intinya pajak terhutang atas tambahan kekayaan. Dalam hal ini, penambah kekayaan kita adalah penghasilan, seperti gaji, hasil usaha, baik usaha utama atau usaha sampingan, laba atas penjualan barang, komisi, pemberian jasa seperti jasa perbaikan, jasa perantara, dll. (Tetapi ada beberapa jenis penghasilan yang tidak terhutang pajak seperti pembayaran dari asuransi kesehatan/jiwa/beasiswa, penerimaan dalam bentuk natura seperti makan minum, tamasya,dll . Selain itu ada juga penghasilan yang tidak dihitung agi lpajaknya karena merupakan penghasilan yang sudah dipungut pajak final seperti bunga dan jual/beli saham yang ada di bursa ).

Kemudian tambahan kekayaan tersebut, dikurangi dengan biaya jabatan (maksimal 6 jt/thn atau 5% dari jumlah penghasilan) atau dikurangi dengan biaya pensiun (maks Rp. 2,4 jt/thn atau 5% dari jumlah pensiun), dan dikurangi juga dengan iuran pensiun (bila ada, bagi pegawai).

Penghasilan yang sudah dikurangi biaya jabatan/biaya pensiun dikurangi lagi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Jumlah PTKP ini bervariasi, perinciannya sbb.

- TK = tidak kawin = Rp. 15.840.000

- K/0/1/2/3 = kawin ditambah dengan banyaknya tanggungan , misal 0 sd 3 anak.PTKP status kawin Rp. 1.320.000, PTKP tiap tanggungan = Rp. 1.320.000

- K/I/0/1/2/3 = kawin dan penghasilan isteri yang bekerja bukan sebagai pegawai, atau bekerja pada bukan pemotong PPh, atau bekerja lebih dari 1 kantor, dan penghasilan istri ini digabung ke penghasilan suami, maka mendapat tambahan PTKP Rp. 15.840.000

-  PH/0/1/2/3 = Wajib Pajak kawin yang pisah harta , PTKP = Rp. 15.840.000 di tambah banyaknya tanggungan x Rp. 1.320.000

- HB/0/1/2/3 = Wajib Pajak kawin yang telah hidup berpisah,  PTKP = Rp. 15.840.000 di tambah banyaknya tanggungan x Rp. 1.320.000

Sedangkan untuk menghitung berapa pajak penghasilan yang terhutang, maka penghasilan yang sudah dikurangi biaya jabatan/pensiun dan PTKP, dihitung dengan tarif sesuai besaran lapisan penghasilan sbb.

Lapisan Penghasilan Kena Pajak                                 Tarif pajak
sampai dengan Rp50.000.000,00                                       5%
Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp250.000.000,00               15%
Di atas Rp250.000.000,00 s.d. Rp500.000.000,00             25%
Di atas Rp500.000.000,00                                                  30%

Pajak yang masih harus dibayar di akhir tahun pajak adalah pajak yang terhutang dikurangi kredit pajak, yaitu pajak yang sudah dipotong pihak lain misalnya perusahaan tempat kita bekerja (PPh pasal 21 atas gaji - Form 1721 A1) atau perusahaan yang kita berikan jasa/servis (bukti potong PPh pasal 21)

Mari kita coba dengan contoh sbb

Penghasilan Amir (gaji, bonus,dll) Tahun Pajak 2009 sebesar Rp101.640.000,00. Amir sudah menikah dan mempunyai 3 (tiga) orang anak, sedangkan isterinya tidak mempunyai penghasilan sendiri. Penghitungan pajak Amir sbb. :
Penghasilan 1 tahun                                            Rp120.000.000

di(-) Biaya jabatan 5%                                          Rp    6.000.000

Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/3)

=15.840+1.320+ (3×1320)                                Rp. 21.120.000
Penghasilan Kena Pajak                                      Rp  92.880.000
Pajak Penghasilan yang terutang :
5% x Rp50.000.000,00                                       Rp 2.500.000
15% x Rp42.880.000                                          Rp. 6.432.000

Jumlah PPh                                                           Rp 8.932.000

Kelihatannya rumit juga ya? tetapi sebenarnya selama seseorang bekerja sebagai pegawai di satu kantor saja, tidak punya tambahan penghasilan lain, baik dari dirinya sendiri atau dari anggota keluarganya, maka penghitungan ini akan dilakukan oleh payroll officer. Pegawai tinggal terima beres, dan biasanya di akhir tahun atau paling lambat bulan Januari sudah menerima formulir bukti potong PPh yang sudah dipotong oleh perusahaan setiap bulannya (Form 1721 A1). Biasanya perhitungan mereka sudah benar, sehingga PPh yang terhutang tadi apabila dikurangi dengan PPh yang sudah dipotong oleh kantor, tidak ada lagi pajak akhir tahun yang masih harus disetor.

Seseorang harus menghitung ulang pajak penghasilannya bilamana mempunyai penghasilan di luar gaji atau penghasilan dari istri yang bekerja sendiri/wiraswasta, dengan cara penghitungan di atas, dikurangi dengan penghasilan yang sudah dipungut perusahaan atau pihak lain.


4. Kategori yang Bebas PPh 21
Pemerintah akan memberikan insentif berupa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang ditanggung pemerintah (DTP) untuk tiga kategori usaha.

"Insentif PPh pasal 21 untuk mengurangi dampak krisis keuangan global untuk meningkatkan daya beli masyarakat pekerja. Akan diberikan ke 3 kategori usaha dengan sejumlah sub sektor," kata Dirjen Pajak Darmin Nasution, di kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Rabu (4/3).

Tiga kategori usaha tersebut, antara lain pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan. Selanjutnya perikanan, dan indusri pengolahan.

Lebih lanjut Darmin mengatakan PPh pasal 21 DTP diberikan kepada pekerja dengan penghasilan bruto diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan tidak lebih dari Rp 5 juta per bulan.

"PPh Pasal 21 DTP tersebut harus dibayarkan secara tunai oleh perusahaan kepada karyawan dalam gaji. Dan karyawan akan memperoleh kenaikan gaji sebesar PPh 21 itu," kata Darmin.

Pemberi kerja wajib melaporkan realisasi pemberian PPh Pasal 21 DTP pekerjanya beserta daftar pekerja yang wajib diberi fasilitas PPh Pasal 21 DTP kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pemberi kerja terdaftar.


5. Strategi Perencanaan Pajak Menghadapi Akhir Tahun Pajak
Perencanaan Pajak Penghasilan Akhir Tahun :

A. Review dan Analisis Pajak Terhutang Akhir Tahun PPh Badan

Buat estimasi pajak terhutang pada tahun berjalan dengan memperhitungkan kredit pajak PPh ps.22, PPh ps.23, PPh ps.24, PPh ps.25, SKFLN, dan PPHTB. Apakah dari hasil estimasi menunjukkan Pajak Lebih Bayar? Jika ya, faktor-faktor apa yang menyebabkan pajak menjadi Lebih Bayar, misalnya perusahaan mengalami kerugian? Apakah dari hasil estimasi menunjukkan Pajak Kurang Bayar dan apakah jumlahnya cukup signifikan?

B. Strategi Menghemat Pajak Penghasilan Akhir Tahun

1. Menunda pengakuan penghasilan ke tahun berikutnya :
a. Menunda pengakuan Sales ke tahun berikutnya.
b. Menunda realisasi penjualan aktiva tetap yang menghasilkan laba.
c. Menunda realisasi penerimaan Piutang dan atau pelunasan Hutang dalam valuta asing yang menghasilkan laba selisih kurs.

2. Meningkatkan / mempercepat pengakuan biaya (kerugian) dalam tahun berjalan :
a. Menjual aktiva tetap yang nilai bukunya jauh di atas harga pasar.
b. Meningkatkan biaya iklan dan promosi pada akhir tahun.
c. Memberikan interim bonus kepada Direksi dan karyawan.
d. Mempercepat realisasi penerimaan Piutang dan atau pelunasan Hutang dalam valuta asing yang menimbulkan kerugian selisih kurs.
e. Mempercepat realisasi atas rencana pembelian aktiva tetap baru.
f. Merealisasi program training karyawan ( local & overseas training).
g. Melakukan repair and maintenance aktiva tetap produktif perusahaan.
h. Meningkatkan biaya research and development dalam negeri.

C. Menghindari Pajak Lebih Bayar Dan Rugi Fiskal

Melakukan langkah-langkah sebaliknya dari Strategi Menghemat Pajak Penghasilan Akhir Tahun berjalan (butir B)

D. Langkah-langkah Penting Lainnya Pada Akhir Tahun Pajak

1. Melakukan review pembukuan agar up-to-date dan akurat.
2. Melakukanekualisasi PPh Badan dan PPN.
3. Melakukan ekualisasi PPh Badan dan Withholding Tax [PPh pasal 21, 23, 26 dan pasal 4 ayat ( 2)].
4. Melakukan fiscal adjustment atas Laporan Keuangan komersial.
5. Melakukan pengecekan ulang keabsahan bukti-bukti potong dan SSP yang menjadi kredit pajak.
6. Membuat daftar nominatif atas pengeluaran untuk entertainment.
7. Menyiapkan dokumen-dokumen pendukung atas transaksi hubungan istimewa.
8. Menyiapkan detail perhitungan selisih kurs Menyiapkan dokumen COD ( Certificate of Domicile) dalam hal melakukan pembayaran dengan menggunakan tarif tax treaty.


6. Mengapa Pegawai Pajak Korupsi?
Kembali kita disuguhi oleh berita tentang keperkasaan KPK menangkap tangan pegawai pajak yang menerima suap atau gratifikasi atau apapun istilahnya dalam ilmu hukum, dan pegawai pajak yang tertangkap tangan ini tidak main-main yaitu seorang Kepala Kantor Pelayanan Pajak (selanjutnya disebut “KPP”) Pratama Bogor. Mengapa kasus suap ini seakan tidak pernah hilang atau tidak kapoknya seorang pegawai pajak menerima suap padahal tingkat penghasilan yang diterima oleh pegawai pajak jauh di atas rata-rata pegawai negeri sipil lainnya.

Kasus seperti ini tidak akan hilang sampai ke anak cucu kita bahkan sampai 8 (delapan) turunan karena apa yang ditemukan oleh KPK yang sudah terungkap ini adalah hanya puncak gunung es yang sebenarnya di lapangan hal-hal seperti ini mungkin sudah tidak asing lagi terjadi dari sejak belum dilakukannya reformasi perpajakan sampai sekarang.

Suap kepada wajib pajak terjadi adalah ketika Wajib Pajak diharuskan membayar kewajiban perpajakannya ke kas Negara melebihi kemampuan Wajib Pajak dan/atau Wajib Pajak hanya ingin membayar pajak kalau bisa seminimal mungkin karena pajak merupakan beban yang dapat mengurangi sumber daya ekonomi Wajib Pajak. Oleh karena itu wajib pajak menyuap pegawai pajak supaya pajak yang seharusnya dibayar tinggi menjadi lebih kecil.

Mengapa wajib pajak harus membayar pajak lebih tinggi daripada kemampuannya sedangkan UU Perpajakan yang telah disahkan menurut penyusun UU ini telah memberikan rasa keadilan bagi Wajib Pajak untuk membayar pajak sebesar kemampuan daripada wajib pajak?

Wajib pajak di Indonesia cenderung menghitung, membayar dan melaporkan kewajiban perpajakanya ingin agar pajak yang dibayar seminimal mungkin karena pajak dapat mengurangi sumber modal yang dimiliki oleh wajib pajak. Cara-cara perhitungan pajak yang dapat memperkecil pembayaran pajak inilah yang menjadi pangkal permasalahan. Kebanyakan wajib pajak menghitung pajak yang harus dibayar dengan cara-cara yang melawan UU Perpajakan semisal memperkecil omzet/penjualan, menambahkan biaya-biaya, dan cara-cara lain yang dapat dibaca diberbagai media informasi yang lain yang tentunya dari perhitungan yang dibuat oleh Wajib Pajak dapat menghasilkan jumlah pajak yang kecil yang akan dibayarkan ke Negara dan tentunya cara-cara ini tidak diperbolehkan menurut UU Perpajakan. Imbasnya bagaimana? Apabila pembayaran pajak dengan cara-cara tersebut masih belum terendus atau diketahui oleh pegawai pajak melalui penelusuran data-data, informasi dan yang lainnya, maka masih amanlah wajib pajak. Permasalahannya adalah ketika wajib pajak diketahui dalam menghitung, membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya tidak sesuai dengan UU Perpajakan, maka disinilah pangkal permasalahan terjadi. Pegawai pajak dapat mengetahui kewajiban perpajakan wajib pajak masih belum sesuai ketentuan adalah melalui proses pemeriksaan pajak, klarifikasi, equalisasi, dan prosedur lainnya yang berakhir pada diketahuinya nilai pajak yang seharusnya dibayar ditambahkan dengan sanksi-sanksi administrasi yang sangat tinggi dan mencekik sehingga wajib pajak diharuskan membayar pajak berlipat-lipat dari nilai riil pajak yang seharusnya dibayar.

Mengapa saya bilang wajib pajak setelah dilakukan pemeriksaan pajak diwajibkan membayar pajak berlipat-lipat? Saya contohkan langsung dengan angka-angka!

Semisal kewajiban perpajakan wajib pajak tahun 2009 dilakukan pemeriksaan oleh KPP pada tahun 2012 dan dari hasil pemeriksaan tersebut ditemukan pajak-pajak yang masih harus dibayar oleh wajib pajak adalah sebagai berikut:

    1. PPh Tahunan yang masih harus dibayar sebesar Rp. 1 Miliar

    2. PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 (2) sebesar Rp. 500 juta

    3. PPN yang masih harus dibayar sebesar Rp. 500 Juta

Dari hasil pemeriksaan pajak tersebut total pokok pajak yang masih harus dibayar oleh wajib pajak adalah sebesar Rp.2 Miliar.

Tapi tunggu dulu, dalam UU Perpajakan setiap hasil pemeriksaan perpajakan dikenal dengan namanya sanksi administrasi. Sanksi administrasi ini bermacam-macam dari sanksi bunga, sanksi denda dan sanksi kenaikan. Sebagaimana Pasal 13 (2) UU No. 28 tahun 2007 yang telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2009 tentang KUP atas hasil pemeriksaan tersebut dikenakan bunga sebesar 2% per bulan paling lama 24 bulan sejak terhutangnya pajak. Pajak tahun 2008 dilakukan pemeriksaan pada tahun 2012 sehingga telah melewati 24 bulan sehingga bunga yang dikenakan maksimal adalah 24 bulan. Coba kita hitung bunga dari hasil temuan pemeriksaan pajak di atas:

    1. Bunga PPh Tahunan = 2% x 24 x Rp.1 Miliar = Rp.480 Juta

    2. Bunga PPh Psl 21, Psl 22, Psl 23, Psl 4 (2) = 2% x 24 x Rp.500 Juta = Rp.240 Juta

    3. Bunga PPN = 2% x 24 x Rp.500 Juta = Rp.240 Juta

Dari perhitungan bunga pajak tersebut total bunga yang harus dibayar adalah sebesar Rp.960 juta!!!! Sehingga total hutang pajak pokok ditambahkan bunganya menjadi sebesar Rp.2.960.000.000 !!!!!

Jumlah pajak yang harus dibayar tidak berhenti sampai di sini, masih ada lagi yang namanya Sanksi Kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 (3) UU No. 28 tahun 2007 yang telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2009 tentang KUP dan langsung kita hitung sebagai berikut:

    1. Sanksi kenaikan PPh Tahunan adalah 50% x Rp.1 Miliar = Rp.500 Juta

    2. Sanksi kenaikan PPh Psl 21, 22, 23, 4 (2) = 100% x Rp.500 juta = Rp. 500 Juta

    3. Sanksi kenaikan PPN = 100% x Rp.500 juta = Rp. 500 Juta

Dari perhitungan sanksi kenaikan pajak adalah sebesar Rp.1,5 Miliar !!!!!

Sehingga total pajak yang masih harus dibayar oleh wajib pajak adalah = Pokok Hutang Pajak + Sanksi Bunga + Sanksi Kenaikan = 2 Miliar + 960 Juta + 1,5 Miliar = Rp.4.460.000.000 !!!! Bayangkan !!!!

Sebagai catatan, jumlah-jumlah ini belum termasuk sanksi-sanksi lain dari kewajiban perpajakan yang belum terpenuhi semisal keterlambatan penyetoran pajak masa dan tahunan dari batas waktu yang ditentukan, keterlambatan pelaporan SPT masa dan SPT Tahunan dari batas waktu yang ditentukan, begitu mengerikannya sanksi perpajakan ini.

Dari sinilah awal mula terjadinya suap oleh wajib pajak kepada pegawai pajak. Wajib pajak akan meminta kepada pegawai pajak untuk membayar pajak tidak sebesar temuan hasil pemeriksaan pajak dikarenakan jumlah pajak yang harus dibayar menjadi berlipat-lipat akibat dari kesalahan wajib pajak sendiri melaporkan pajaknya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Memang masih ada media lain yang dapat ditempuh oleh wajib pajak untuk menolak hasil pemeriksaan pajak di atas yaitu dengan melakukan permohonan keberatan dan banding, namun perlu diingat bahwa apabila wajib pajak gagal/permohonan ditolak maka sanksi sebesar 50% dari nilai yang dimohonkan keberatan sesuai dengan Pasal 25 (10) UU No. 28 tahun 2007 yang telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2009 tentang KUP. Coba bayangkan apabila nilai hasil pemeriksaan sebesar Rp.4.460.000.000 tersebut dimohonkan keberatan dan ternyata keberatan ditolak maka akan dikenakan sanksi sebesar 50% atau sebesar Rp.2.230.000.000 sehingga total pajak yang harus dibayar tinggal menjumlahkan saja !!!!

Apabila keberatan ditolak, wajib pajak masih diberikan kesempatan untuk banding ke pengadilan pajak, namun lagi-lagi apabila wajib pajak kalah di pengadilan pajak maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 (5d) UU No. 28 tahun 2007 yang telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2009 tentang KUP.

Lantas bagaimana mengantisipiasi agar suap menyuap dalam bidang perpajakan tidak terus terjadi karena mengingat aturan perpajakan yang sangat memberatkan bagi wajib pajak akan selalu membuat wajib pajak dalam menghitung, menyetor dan melaporkan kewajiban perpajakannya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan ujung-ujungnya adalah “meminta bantuan” kepada pegawai pajak agar pembayaran pajak yang dilakukan tidak sampai membuat likuiditas wajib pajak terganggu dan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup wajib pajak.

Menurut saya kunci permasalahannya adalah ada pada UU Perpajakan. Aturan perpajakan sangatlah banyak dan rumit. Kesalahan wajib pajak dalam menghitung, menyetor dan melaporkan kewajiban perpajakannya adalah tidak semata-mata karena sengaja, ada juga wajib pajak yang memang tidak memahami peraturan perpajakan yang ada sehingga berujung kepada pajak yang dibayar menjadi lebih besar dari seharusnya. Dibutuhkan peran serta seluruh lapisan yang berkecimpung dalam bidang ini agar semua masyarakat paham akan pajak. Disamping banyaknya aturan perpajakan, menurut saya tariff pajak dan sanksi administrasi perpajakan di Indonesia sangat memberatkan bagi wajib pajak. Pihak yang berwenang menerbitkan aturan perpajakan sebaiknya mengkaji ulang atas aturan-aturan yang ada, bagaimana membuat wajib pajak mau, sadar dan ikhlas serta atas kemauan sendiri melaporkan kewajiban perpajakannya dengan benar dan sesuai dengan ketentuan. Saya yakin apabila wajib pajak melaporkan kewajibannya dengan benar maka suap menyuap ini tidak akan terjadi lagi.